Ia memanggil dari empat penjuru mata
angin. Meramaikan udara di waktu-waktu tertentu. Hanya suara itu yang selalu
membuatku sadar aku masih di bumi, dan aku masih punya kewajiban-kewajiban yang
mesti kuselesaikan. Ah ya, sepertinya tidak akan pernah selesai sampai jasadku
kembali menyatu dengan perut bumi. Sebab dia kewajiban yang istimewa, hanya
untuk dilaksanakan tanpa pernah ada yang tahu hingga kapan dia terselesaikan.
Suaranya merdu sekali, seolah ia tahu suara semerdu itu pastilah akan mengusikku
dan membuat keinginanku mengunjunginya akan semakin besar. Tapi hanya suara
riuh itu yang terdengar dari empat penjuru mata angin. Kadang di waktu-waktu
tertentu, di saat gairah ingin bertemuku membuncah, lalu suara merdunya kembali
menyesaki udara, aku ingin lari mencari sumber suara itu. Namun kenyataannya
aku masih waras, hingga kuputuskan berdiam diri di kamar menikmati suaranya
hingga berakhir beberapa menit kemudian. Atau mungkin aku terlalu sombong, hingga
insting duniawiku menggeser ranah-ranah spiritual yang seharusnya beranjak
ketika suara panggilan menghadap Tuhan itu berkumandang dari empat penjuru mata
angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar