Hingga saat ini aku masih menikmatinya.
Menunggu sapaanmu pertama kali, perbincangan berjalan singkat dengan kau yang
hanya berkata “oh” atau “iya” juga “tidak” dan aku yang seperti anak kecil
mendapat permen begitu bahagianya lalu bercerita panjang lebar tanpa pernah
kulihat kau menikmati ceritaku atau tidak. Sesekali kuhela dengan pertanyaan
yang lagi-lagi kau jawab dengan jawaban satu katamu. Beruntung jika aku
mendapatkan bonus sebuah senyum atau gerutuhan kecilmu. Satu-satunya tanda
bahwa aku tidak berbincang dengan diriku sendiri.
Hingga saat ini aku juga masih menikmatinya.
Memandangmu yang selalu asyik sendiri dengan duniamu. Menyanyikan lagu-lagu
yang entah milik siapa lalu sesekali kau memandangiku mengajakku ikut
menikmatinya tapi aku balas dengan mengerutkan kening. Aku lebih memilih
menikmatimu saja. Melihat betapa berbinarnya matamu saat itu, melihat betapa
mahirnya kau memetik senar-senar yang tak kumengerti. Yang kutahu hanyalah
senar itu ada enam, lalu ketebalannya tidak ada yang sama. Kadang kau menekan
beberapa dengan formasi jari sedemikian rupa dan keluarlah bunyi yang merdu.
Hingga saat ini akupun masih terus
menikmatinya. Melihatmu yang hanya duduk. Menatap kosong ke jalan. Entah apa
yang sedang kau pikirkan. Dari tempatku memperhatikanmu, aku bisa melihat asap
rokok yang kau mainkan sekenanya, lalu jemarimu yang memainkan batang rokok
itu. Sungguh mahir kau. Kau tahu kapan ia mesti kau hisap, kapan itu berhenti,
lalu kapan abu yang bersisa di ujung-ujungnya mesti kau jentikkan dengan jarimu
kemudian berjatuhan di tanah, beberapa mengenai celana jinsmu yang tak kau
hiraukan sama sekali. Lalu yang tersisa hanya api-api kecil berwarna merah di
ujung rokokmu.
Hingga saat ini aku masih akan menikmatinya.
Menungguimu saat kau diam, tak ada yang ingin kau bicarakan. Menungguimu saat
kau mulai bercerita sesuatu yang menarik bagimu. Menungguimu yang lalu kembali
diam entah sedang memikirkan apa. Lalu tiba-tiba kau akan memandangku dan
berkata “Aku lapar.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar