Laman

Selasa, 17 November 2015

Perisai(ku)

Pedang itu menemani baginda nabi berperang di jalan Allah. Dengannya kemenangan demi kemenangan menjadi milik umat Islam kala itu. Lalu pada perang Uhud, pedang itu kemudian berpindah tangan kepada syaidina Ali yang kemudian menjadi pedang kebanggaan beliau. Pedang yang kemudian menjadi sahabat beliau di setiap peperangan melawan kaum kafir, kemudian menjadi simbol keberanian dan keperkasaan sang sahabat Rasulullah. Sedemikian bangganya sebuah pedang tertulis dalam sejarah manis perjuangan Rasulullah dan sahabat dalam pertempuran-pertempuran atas nama Allah.

Meski pedang itu bukanlah apa-apa tanpa nama besar Rasulullah SAW dan Ali bin Abu Thalib ra, namun pedang itu adalah saksi kejayaan umat Islam kala itu, simbol keperkasaan para pejuang yang dicintai Allah. Saksi yang masih tetap ada hingga sekarang dan masih menjadi salah satu bagian dari berbagai kisah mengagumkan dalam peradaban Islam. Dia menjadi teman bagi syaidina Ali hingga akhir hayatnya.

Pedang yang menjadi kebanggaan Rasulullah, pedang yang menjadi simbol keperkasaan Ali bin Abu Thalib, pedang yang menjadi legenda bagi umat Islam, begitulah ia. Lalu pada perjalanan hidupku, ketika aku berkenalan dengan sang pedang, mempelajarinya, membaca kisah-kisahnya, aku jatuh cinta. Kuharapkan Allah pun berkenan akan cinta ini. Menjaganya tetap indah, seperti kisah-kisah yang telah kubaca.

Aku…seperti Rasulullah SAW dan Ali ra yang menjadikan ia sebagai teman berjuang di jalan Allah, pun berharap bahwa ia menjadi temanku dalam ketaatan kepada Allah. Sebagai perisai yang semakin menguatkanku untuk mencintai Allah, sebagai kekuatan yang menjadikanku tangguh berjalan di jalan Allah. Ia, kuharap mampu menghadirkan ridha Allah dalam hidupku. Sebagai sahabat dan kekasih yang dapat memimpinku beserta mujahid-mijahid kecilku kelak. Ketika kukenal ia sebagai pedang yang gagah berani, maka semakin kucintai ia karena Allah dan semoga Allah senantiasa menjaganya, menjadikan ia sebagai perisaiku hingga akhir hayat dan bertemu di kehidupan berikutnya dengan cinta yang masih sama.


Kamu…semoga kisahmu dahulu yang menginspirasi hati hamba-hamba Allah, menjadi kekuatanmu untuk selalu mencintai Allah dengan segenap jiwa dan raga. Menjadikan hidupmu senantiasa untuk mencari ridha Allah, sebab kelak, ketika engkau dan aku telah siap, kamulah yang akan memimpinku berjalan bersamamu menujuNya… ^^

Rabu, 11 November 2015

Hamzah...

Malam itu, malam minggu 7 November 2015, aku pertama kali bertemu dengannya. Namanya Hamzah, mahasiswa S2 Hukum angakatan 2015 yang berasal dari Padang. Cara ngomongnya lembut sekali, kelihatan banget kalau dia cowok yang sabar. Lalu setelah ngobrol beberapa saat, bertambah simpatilah aku dengannya. Malam itu, aku bertemu dengannya tidak sengaja ketika aku dan beberapa teman sedang menonton pertujukan seni di 0 km Kota Jogja. Hamzah adalah teman dari teman-temanku yang semuanya adalah anak Padang. Malam itu dia sedang berjualan di depan gedung Serangan Umum 1 Maret Malioboro. Dari ceritanya aku tahu kalau Hamzah berjualan di situ hampir setiap malam untuk membayar biaya kuliahnya semester depan. Dan yang lebih membuat aku kagum adalah, dia bolak balik dari kost ke tempatnya berjualan dengan menggunakan sepeda dan itu jauh….jauhhh banget. 



Di perjalanan pulang, kami sesekali ngobrol saat berhenti di lampu merah. Dengan terengah-engah sambil mengelap keringat, Hamzah tetap ngobrol dengan ceria. Ahhhh….dia memang keren. Kurasa, Tuhan mempertemukanku dengannya karena sebuah alasan. Bahwa tidak ada alasan bagiku untuk terus mengeluh dengan tesis yang tak kunjung selesai. Bahwa di luar sana, masih banyak orang yang lebih keras lagi perjuangannya dibanding aku yang tidak perlu sampai begadang setiap malam, mengumpulkan rupiah demi rupiah agar bisa tetap kuliah. Sekecil apapun, nikmat Tuhan harus selalu disyukuri.