Laman

Kamis, 29 Agustus 2013

Elemen Anomali

Kita adalah elemen berdimensi banyak yang jalurnya mengikuti lajur rotasi tempatnya berpijak.  Yang tidak menurut pada aturannya maka dialah anomali yang dianggap merusak sistem. Tapi sebuah anomali adalah keindahan, dari sistem yang bekerja begitu monoton. Ia adalah spot tempat kita bercermin bahwa tidak semua yang berjalan menurut aturan itu baik dan menyenangkan.

Adalah baik membiarkan anomali itu tetap tumbuh, membuat kita tidak perlu harus berada di sisi yang berbeda untuk tahu apa yang terdapat di sana. Mungkin juga harus diakui jika kadang-kadang sesuatu yang tidak berjalan sesuai aturan adalah yang disebut melanggar hukum. Namun hukum alam yang mana yang menjadi tolak ukur bahwa kita telah berjalan sesuai sistem. Semua hukum baik buruk yang menjadikan kita anomali atau bukan adalah hukum manusia yang dipaksakan menjadi hukum alam. Satu-satunya hukum yang berjalan mutlak adalah hukum Tuhan yang telah jelas aturan mainnya. Dan aku pikir untuk yang satu itu, semua berjalan dalam sistem yang semestinya. Tidak ada yang berani menjadi anomali.

Aku Tahu Meski Kau Tak Tahu

            Aku hanya ingin terus menuliskannya, selagi aku masih merasakannya. Apa lagi yang ingin kukatakan tentangmu hari ini. Ah mungkin lebih baik aku mengatakan ternyata kita sama dalam cinta. Apa kau tahu bahwa aku tahu kau mencintai seseorang dengan cara yang maskulin dan eksklusif. Mengapa ? Karena tak seorangpun kau biarkan menyentuhnya, melihatnya apalagi menikmatinya. Kau menyimpannya rapat-rapat lalu akan kau nikmati selagi semua orang tengah sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
            Aku tahu, kau mencintai dengan cara yang jauh berbeda. Hanya mencintai, menikmati yang bisa kau nikmtai tanpa pernah sedikitpun berusaha menggapai yang tidak mungkin kau gapai. Bukan tidak mungkin sebenarnya, hanya saja kau lebih memilih menghabiskan waktu untuk menikmati ketimbang membuang waktu untuk berjuang.
            Aku tahu, pengetahuanmu tentang cinta melebihi batas-batas nalar manusiawi. Yang telalu ego hingga sering memaksakan diri, menjadi umpan bagi yang dicintai lalu ketika umpan itu menangkap mangsanya, puaslah ia. Cintanya terbalas sudah. Cintamu lebih dari itu. Ada kenikmatan ketika kau ingin berucap betapa mempesonanya dirinya hari ini, namun tak kau ucapkan dan hanya tersenyum tipis saat melihatnya lalu memilih memalingkan wajah. Ada sensasi luar biasa ketika kau melihatnya tengah makan sendiri di kantin lalu ingin sekali kau menemaninya tapi kau memilih duduk di meja yang jauh darinya. Yang hanya bisa kau lihat dia tengah asyik menikmati makan siangnya hari itu lewat sudut matamu.

            Aku tahu, aku tahu semua itu. Aku tahu mengapa kau memilih jalan itu. Aku tahu seberapa nikmatnya mencintai seperti itu juga seberapa beratnya mencintai dengan jalan itu. Aku tahu, sebab dengan cara itu pulalah aku mencintaimu. Aku tahu, hanya kau saja yang tidak pernah tahu. Kita selalu sama dalam cinta, meski kita menikmati punggung yang berbeda. Aku tahu, hanya kau yang tak tahu. 

Suara Dari Empat Penjuru Mata Angin

            Ia memanggil dari empat penjuru mata angin. Meramaikan udara di waktu-waktu tertentu. Hanya suara itu yang selalu membuatku sadar aku masih di bumi, dan aku masih punya kewajiban-kewajiban yang mesti kuselesaikan. Ah ya, sepertinya tidak akan pernah selesai sampai jasadku kembali menyatu dengan perut bumi. Sebab dia kewajiban yang istimewa, hanya untuk dilaksanakan tanpa pernah ada yang tahu hingga kapan dia terselesaikan. Suaranya merdu sekali, seolah ia tahu suara semerdu itu pastilah akan mengusikku dan membuat keinginanku mengunjunginya akan semakin besar. Tapi hanya suara riuh itu yang terdengar dari empat penjuru mata angin. Kadang di waktu-waktu tertentu, di saat gairah ingin bertemuku membuncah, lalu suara merdunya kembali menyesaki udara, aku ingin lari mencari sumber suara itu. Namun kenyataannya aku masih waras, hingga kuputuskan berdiam diri di kamar menikmati suaranya hingga berakhir beberapa menit kemudian. Atau mungkin aku terlalu sombong, hingga insting duniawiku menggeser ranah-ranah spiritual yang seharusnya beranjak ketika suara panggilan menghadap Tuhan itu berkumandang dari empat penjuru mata angin.

Rindu Sapamu

            Aku selalu berharap 24 jam perputaran waktu tanpa pertemuan akan membingkaimu dalam rindu yang menggebu. Lalu 48 jam perputaran waktu tanpa pertemuan akan menggiringmu pada dahaga akan peluk dan kecup. Namun, tahukah kau bulan kedelapan akan menjumpai akhirnya tidak lama lagi dan kau tak sepatahpun pernah menyapaku.
            Telah begitu jauh aku pergi, juga begitu banyak orang yang telah kutemui. Teman kampus, tetangga kostan, teman main, bahkan beberapa orang yang tak kukenali yang kemudian menyapaku. Di jalan, di halte, di rumah makan, atau di bus. Namun tahukah kamu, dari setiap pertemuan itu, dari setiap perbincangan itu, tak ada satupun yang mampu menghapus dirimu yang berjejalan di kepalaku.

            Hampir di setiap pagi, ketika matahari mulai terlihat dari balik jendela, detik itu aku mulai menghitung satu, dua, tiga, hingga hitungan ke 86400 tak ada sapamu. Jemariku telah begitu rindu menuliskan namamu, mataku telah begitu rindu membaca namamu, mulutku telah begitu rindu mengucapkan namamu namun hatiku begitu malu menyapamu lebih dulu. Tahukah kau “hai” yang dulu sering kau kirimkan melaui pesan singkat akan meluruhkan segala rinduku ? Akan membuatku yakin bahwa aku masihlah ada dalam daftar sapamu bulan ini.

Menikmatimu

Hingga saat ini aku masih menikmatinya. Menunggu sapaanmu pertama kali, perbincangan berjalan singkat dengan kau yang hanya berkata “oh” atau “iya” juga “tidak” dan aku yang seperti anak kecil mendapat permen begitu bahagianya lalu bercerita panjang lebar tanpa pernah kulihat kau menikmati ceritaku atau tidak. Sesekali kuhela dengan pertanyaan yang lagi-lagi kau jawab dengan jawaban satu katamu. Beruntung jika aku mendapatkan bonus sebuah senyum atau gerutuhan kecilmu. Satu-satunya tanda bahwa aku tidak berbincang dengan diriku sendiri.
Hingga saat ini aku juga masih menikmatinya. Memandangmu yang selalu asyik sendiri dengan duniamu. Menyanyikan lagu-lagu yang entah milik siapa lalu sesekali kau memandangiku mengajakku ikut menikmatinya tapi aku balas dengan mengerutkan kening. Aku lebih memilih menikmatimu saja. Melihat betapa berbinarnya matamu saat itu, melihat betapa mahirnya kau memetik senar-senar yang tak kumengerti. Yang kutahu hanyalah senar itu ada enam, lalu ketebalannya tidak ada yang sama. Kadang kau menekan beberapa dengan formasi jari sedemikian rupa dan keluarlah bunyi yang merdu.
Hingga saat ini akupun masih terus menikmatinya. Melihatmu yang hanya duduk. Menatap kosong ke jalan. Entah apa yang sedang kau pikirkan. Dari tempatku memperhatikanmu, aku bisa melihat asap rokok yang kau mainkan sekenanya, lalu jemarimu yang memainkan batang rokok itu. Sungguh mahir kau. Kau tahu kapan ia mesti kau hisap, kapan itu berhenti, lalu kapan abu yang bersisa di ujung-ujungnya mesti kau jentikkan dengan jarimu kemudian berjatuhan di tanah, beberapa mengenai celana jinsmu yang tak kau hiraukan sama sekali. Lalu yang tersisa hanya api-api kecil berwarna merah di ujung rokokmu.

Hingga saat ini aku masih akan menikmatinya. Menungguimu saat kau diam, tak ada yang ingin kau bicarakan. Menungguimu saat kau mulai bercerita sesuatu yang menarik bagimu. Menungguimu yang lalu kembali diam entah sedang memikirkan apa. Lalu tiba-tiba kau akan memandangku dan berkata “Aku lapar.” 

Aku Menunggu Pertanyaanmu

            Maafkan aku jika aku selalu ingin tahu apa kabarmu. Menyenangkankah hidupmu hari ini ? Apa yang seharian ini kau kerjakan ? Dan jam berapa kau akan tidur malam ini? Bahkan kadang-kadang aku lancang, ingin tahu apa yang kau mimpikan, siapa yang kau mimpikan. Mungkin bagimu aku konyol, tapi telah kuhabiskan hampir setiap hari hanya untuk memikirkan hal-hal itu saja. Lalu ketika kukatakan mungkin aku telah jatuh cinta, aku yakin kau akan tertawa. Kita sepasang manusia yang terlahir berbeda, berbeda jenis, berbeda karakter dan berbeda pemahaman. Tapi entah mengapa aku merasa benar-benar mengenalmu sebagai aku yang lain. Mungkin kau akan tertawa, ketika kukatakan sepertinya aku benar-benar jatuh cinta.
            Dimensi kita jelas berbeda. Aku yang hanya selalu duduk di sini, memperhatikanmu, mendengarkanmu jika kau berbicara lalu menyimpannya dalam hati. Ada pula kau, yang terbang ke sana ke mari, menikmati berbagai jenis makhluk Tuhan yang kau sebut indah padahal mereka adalah jenisku lalu pulang kepadaku ketika lelah bertualang. Menceritakan sedikit kisahmu dan sebagian kau biarkan untuk kau nikmati sendiri. Kemudian aku, akan berusaha memasuki hatimu, membaca apa yang tidak kau ceritakan, lewat senyummu, lewat tatap matamu juga senandung halusmu. Aku yakin kau akan tertawa, tapi kali ini aku benar-benar jatuh cinta.

            Pernahkah kau sadar, sudah berapa juta kali aku menanyakan bagaimana perasaanmu hari ini, tertambat pada siapa lagi ia, lalu apakah kau benar-benar ingin berhenti pada hati yang menjadi kisahmu saat itu ? Dan apakah kau juga sadar, ada lebih dari 94.608.000 detik yang kita lalui bersama tapi tidak pernah ada tercatat detik di mana kau menanyakan bagaimana perasaanku, siapa yang sedang aku cintai ? Ah, mungkin sebaiknya tidak pernah ada pertanyaan itu, sebab jika kau bertanya aku yakin kau akan tertawa atas jawabanku.

Rabu, 14 Agustus 2013

Agustus



Agustus…
Apa yang bisa kuingat darimu ???
Mungkin cuma satu
Bahwa ada satu hari yang selalu jadi bahan hafalanku dulu saat sekolah
Satu hari yang lalu jadi begitu meriah
Upacara bendera, marching band dan acara-acara kesenian
Hari kemerdekaan katanya
Tapi entahlah
Bahkan kamipun belum bisa merdeka dari pikiran-pikiran sendiri
Biarlah Agustus
Setidaknya kau beruntung berkat hari itu
Kau jadi bulan istimewa

Udara Yang Menjadi Teman



Aku belum suka udara di sini
Semuanya membisiku tentang kesunyian
Tapi mungkin karena kami belum berteman

Dan aku sangat rindu udara di sana
Semuanya membisiku tentang tawa dan persahabatan
Tapi mungkin karena kami telah berteman sejak lama

Selamat Malam Angin Malam



Selamat malam angin malam yang ada di sana
Kita tidak hanya menikmati udara yang berbeda
Tapi juga telah berada pada waktu yang tak sama
Mungkin sekarang kau telah pulas
Tapi aku di sini masih bersusah payah mengumpulkan segala lelap yang tak juga hinggap

Selamat malam angin malam yang ada di sana
Bagaimana rupa langit malam ini di sana ???
Di sini bulan malu-malu, bersembunyi di balik awan yang tak lagi biru tapi gelap
Semoga di sanabulan tersenyum indah

Selamat malam angin malam yang ada di sana
Selamat beristirahat juga
Mimpilah tentangku
Agar kita bisa bertemu

Judul Puisi Ini Dia



Puisi…
Hantarkanlah rasa ini pada yang aku tulis dalam setiap hurufmu
Aku tahu kau mengerti
Dia adalah isi, adalah diksi, juga sisi dalam barismu, puisi
Dia adalah judul yang sengaja tak kuucap tapi kau mengerti

Tulisan Pertama Bulan Ini



Lihatlah….
Kesibukan apa yang telah mebuatku begitu lama mengabaikanmu
Lihatlah…
Sudah berapa lama kau kosong, tak menyentuhmu
Lihatlah…
Bahkan telah berjalan empat belas hari lebih kita tak bertemu
Ah… maafkanlah aku
Ini aku tulis sebagai salam pertemuan lagi
Aku rindu padamu