Laman

Senin, 25 Februari 2013

Antarkan Puisi Ini Untuknya

                                                                     PROLOG
Ini sebuah kisah cinta. Sebuah kisah cinta yang tidak pernah menemukan tempat pulangnya, tempatnya berhenti. Kisah cinta yang terus berjalan, mencari pelabuhannya dengan cara yang sama sekali berbeda. Jika kebanyakan kisah bersuara, maka kisah ini berkata. Lewat kata, lewat puisi yang tak pernah tersampaikan oleh sang pemilik. Aku, mungkin aku yang akan mengantarkannya. Untuk sebuah hati yang memilih diam.
                                                                      ******


                                                                      #SATU
Aku seorang mahasiswi yang mencintai sastra. Mungkin darah itu kudapatkan dari mama. Mamaku adalah seorang penulis buku yang sudah menerbitkan banyak buku. Meskipun buku yang ditulisnya adalah buku-buku nonsastra dan kebanyakan berbicara tentang keprihatinannya terhadap dunia wanita di Indonesia, aku tetap yakin kemampuanku mengolah kata yang selalu di atas rata-rata dibandingkan teman-teman seumuranku aku dapatkan dari mama.
Hubunganku dengan mama tidak pernah harmonis. Semenjak mama memutuskan berpisah dengan papa saat aku SMP, kami bukan lagi sepasang ibu dan anak yang bahagia. Aku lebih suka mengurung diri di kamar daripada menghabiskan waktu dengan mama nonton tv atau ngobrol di sela-sela kesibukannya sebagai aktifis perempuan dan penulis. Entahlah, akupun tidak pernah mengerti mengapa aku begitu menyalahkan mama karena membiarkan aku menyandang status anak broken home. Tidak juga pernah aku mencoba menanyakan kepadanya, mengapa mama berpisah dengan papa.
Papaku adalah papa yang hebat. Aku mengaguminya, sangat mengaguminya. Aku sering mendengar orang-orang bilang kalau anak perempuan akan lebih dekat dengan papanya dan itu aku. Tidak pernah ada rahasia antara aku dan papa. Dulu, kami sering menghabiskan waktu berdua di akhir pekan ketika papa tidak disibukkan dengan jadwal mengajarnya. Papaku seorang dosen. Dosen yang tentu saja hebat, sehebat perannya sebagai papa. Meskipun sekarang aku tinggal sangat jauh darinya, kami tetap berhubungan hampir setiap hari. Papa sekarang tinggal di Jerman, mengajar di sana. Beberapa tahun setelah pisah dengan mama, papa memutuskan melanjutkan studynya di Jerman dan menetap di sana.
Aku sempat ingin kuliah di Jerman, tapi ternyata aku tidak pernah tega meninggalkan mama sendiri di sini. Mungkin aku tidak benar-benar membencinya. Aku masih sangat menyayanginya. Dan aku yakin mama tahu itu. Hanya saja sekat antara kami berdua sudah terlalu kokoh dan sulit dihancurkan. Pada dasarnya aku dan mama punya watak yang sama. Keras kepala dan ego yang tinggi. Mungkin itu yang membuat aku dan mama sulit sekali menjalin komunikasi.
Oh ya, aku mahasiswa arsitektur. Aku sebenarnya ingin kuliah di fakultas sastra. Hari itu, mama menanyakan aku akan lanjut di mana dan kuutarakan niatku untuk mengambil jurusan Sastra Indonesia. Awalnya aku sangat yakin mama akan sangat senang dan mendukungku tapi di luar perkiraanku, mama menentang keinginanku habis-habisan. Kami sempat bertengkar hebat dan aku sempat minggat selama seminggu dari rumah dan tinggal di rumah temanku, Naras. Aku baru pulang ke rumah setelah papa yang tahu pertengkaran kami datang ke Indonesia dan menjemputku di rumah Naras. Lagi-lagi papa yang meluluhkan hatiku dan tidak pernah kutahu alasan mama sebenarnya. Papa hanya bilang, tidak perlu menjadi sarjana sastra untuk aku bisa terus menulis dan menciptakan karya-karyaku.
Dan benar saja apa yang papa katakan. Setelah kuliah, aku mengikuti beberapa organisasi dan kelompok-kelompok diskusi mahasiswa pencinta sastra dan puisi Indonesia. Di sana aku banyak belajar, mengenal banyak penulis-penulis hebat yang ternyata kebanyakan dari mereka bukan mahasiswa sastra. Aku telah menemukan duniaku. Tapi di luar semua itu, yang paling aku syukuri adalah aku bertemu seorang dosen sastra yang adalah dosen pembina di organisasi mahasiswa pencinta sastra kampus yang aku ikuti. Dia adalah dosen yang hebat. Yang sangat mengerti kami sebagai mahasiswa. Meskipun umurnya jauh di atas kami, tapi jiwanya jauh lebih muda dibandingkan kami. Semangatnya dalam memotifasi dan membimbing kami luar biasa besar. Hal itu membuatku berfikir, jangan-jangan dia adalah anak muda yang terjebak dalam jasad seorang Pak Dewanto Suryono yang sering kami panggil Pak De. Bertemu dengannya membuatku semakin mencintai dunia sastra.
Kami sering sekali berdiskusi mengenai sastrawan-sastrawan Indonesia, puisi atau karya-karya mereka. Menghabiskan waktu lama dengannya kadang membuatku lupa waktu. Dia adalah seorang pembimbing, teman dan motivator yang sangat baik. Idealismenya sebagai seorang dosen yang ingin melahirkan sastrawan-sastrawan tangguh membuatku semakin mengaguminya.
Kadang akupun bingung mengartikan perasaan yang kumiliki untuk Pak De. Sekedar kagumkah, atau aku mulai mencintainya. Usia kami terlampau cukup jauh. 21 tahun. Aku yang baru berumur 22 tahun dan dia adalah dosen yang berumur hampir sama dengan papa. Lebih pantas kupanggil papa. Pikiran seperti itu kadang-kadang muncul ketika aku sedang melamun, memikirkan hal-hal aneh. Tapi setiap kali pikiran itu datang, aku pasti berusaha membuangnya jauh-jauh. Tidak mungkin aku mencintai Pak De. Tentu saja itu adalah hal terkonyol yang pernah kupikirkan.
Suatu hari pernah kuceritakan hal itu pada Naras. Dan benar saja dugaanku, Naras tertawa nyaris mati karena merasa hal itu adalah hal paling tidak masuk akal.
“ Emang sih Pak De loe itu untuk ukuran dosen keren banget, ganteng tapi masa iyya loe jatuh cinta sama om om.” kata Naras sambil terus berusaha menahan tawanya.
    Aku hanya bisa memandanginya kesal dan mengutuki kebodohanku menceritakan itu pada Naras. Jangankan Naras, akupun tidak habis pikir mengapa bisa berasumsi sedemikian tidak wajarnya. Setelah kejadian itu, aku tidak lagi pernah mau membagi ceritaku tentang Pak De ke Naras. Cerita apapun yang menyangkut Pak De bahkan kenyataan bahwa di usianya yang sekarang Pak De belum pernah menikah, karena aku tahu ke mana pembicaraan kami akan berakhir.

                                                       ~TO BE CONTINUED~

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar