Kemarin aku
memenuhi panggilan sebuah perusahaan untuk melakukan tes interview. Tes
interview pertama yang aku ikuti semenjak menyandang gelar fresh graduate. For
the first time I feel everything will be going alright and I will do my best
for the test. Sampai aku berada di depan pintu ruangan tes, dipersilahkan
duduk, memperkenalkan diri dan sedikit bercerita tentang kota kelahiranku
semuanya terasa berjalan sangat baik. Kemudian bapak yang menginterview
mempersilahakn aku untuk menjelaskan tugas akhir yang aku tulis sebagai
skripsiku. Dengan mantap aku berdiri dan mulai “bercerita” dan tiba-tiba si
bapak memotong pembicaraanku. Begini yang dia katakan :
“ Tunggu sebentar.
Maaf saya lupa kalau anda seorang perempuan. Silahkan duduk dulu.”
Dengan
sedikit bingung aku kembali duduk. Perasaan tidak enak kemudian berkecamuk.
“Saya lupa anda seorang perempuan,”
kalimat itu terus berputar-putar di kepalaku saat itu. Dia kemudian
mulai menceritakan kehidupan di perusahaan yang dibuatnya “seseram” mungkin.
Aku tahu maksudnya, aku tahu ke mana arah pembicaraan si bapak. Aku hanya
tersenyum simpul mendengar penjelasannya, sekedar untuk menghargai. Dan lalu
aku tahu bagaimana akhir dari pembicaraan kami saat itu. Aku tahu, sangat yakin
apa yang akan kukatakan. Dan sampailah dia pada klimaks. Dari setiap penekanan
kata yang keluar dari mulutnya dapat kusimpulkan dia menaruh harapan besar di
sana dan tentu saja aku tidak akan mengecawakannya. Setelah dia berhenti
berbicara dan menunggu reaksiku, dengan tegas aku berkata :
“ Saya memilih
mundur Pak.”
Kujabat
tangannya dan aku meninggalkan ruangan dengan perasaan yang entahlah, akupun
tidak mengerti. Malam harinya aku BBMan dengan seorang teman yang mendapat
perlakuan kurang lebih sama seperti aku saat interview. Dia merasa sakit hati.
Itu yang dia katakan. Setidaknya dia lebih bisa menggambarkan perasaannya
dengan sangat jelas. Tidak seperti aku yang entah sakit hati, entah senang,
entah lega atau kecewa. Semalaman aku terus berfikir.
Aku
4,5 tahun kuliah di jurusan yang memang hampir semua mata kuliahnya adalah mata
kuliah lapangan. Aku pernah merasakan kerasnya alam meski bukan dalam jangka
waktu yang lama. Aku 2 bulan magang di instansi pemerintah yang tidak
memberikan toleransi apapun bagi pegawainya laki-laki ataupun perempuan saat
dia mendapatkan shift kerja, pagi, siang atau malam. Semuanya sama. Aku pernah
1,5 bulan magang di sebuah perusahaan gas yang jumlah pekerja perempuannya
hanya bisa dihitung jari. Tidak lebih dari 10 orang. Lalu, gambarannya tentang
perusahaannnya sebenarnya tidaklah mampu membuatku takut. Aku telah cukup
tertempa.
Sayangnya
kalimat “ saya lupa anda seorang perempuan “ benar-benar pas kena hatiku
(seperti judul sebuah lagu). PENOLAKAN GENRE itu yang tersirat dari kata-kata
si bapak, hanya saja dilakukan dengan cara yang sangat perempuan.
Menakut-nakuti. Dan ketika itu adalah alasannya, tidak ada pula alasan bagiku
untuk meneruskannya. Siapa yang bisa merubahnya? Bahkan ketika aku diberi
kesempatan terlahir kembali, aku akan tetap memilih menjadi seperti ini.
Setahuku persamaan genre telah diakui di negara ini. Sayangnya kita terlalu
naif, mungkin pengakuan telah didapatkan, tapi perlakuan tidak banyak yang
berubah. Perempuan dan laki-laki tetap mendapatkan perlakuan yang berbeda.
Malam
itu aku benar-benar berfikir keras. Dan pada akhirnya aku mengambil sebuah
keputusan yang sayangnya mungkin akan membakar semua mimpiku tentang sebuah
harapan seorang perempuan. Ladies, di negeri ini perempuan tidak akan pernah
diperlakukan sama, jadi kita, perempuan, mesti lebih realistis menata mimpi,
menatap masa depan. Aku bukanlah wanita tangguh yang mampu menutup mata pada
penolakan-penolakan lingkungan terhadap kodratku sebagai perempuan. Tapi aku
sangat berharap, hanya akulah satu-satunya perempuan yang tidak bisa bertahan
dalam penolakan. Aku berharap perempuan-perempuan lainnya memiliki jiwa yang
tangguh seperti Ibu Kartini atau perempuan-perempuan yang pernah tercatat dalam sejarah negeri ini.